Terlintas – Pada Senin (20/1), Gedung Putih mengumumkan bahwa Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang baru saja dilantik sebagai presiden ke-47, akan menarik negara tersebut dari Perjanjian Iklim Paris. Dalam pernyataan resmi, Gedung Putih menyatakan bahwa keputusan itu akan segera ditindaklanjuti dengan perintah eksekutif yang akan ditandatangani oleh Trump pada hari yang sama.
Langkah ini adalah bagian dari agenda besar Trump yang dikenal dengan slogan “Make America Affordable and Energy Dominant Again.” Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada energi bersih yang dianggapnya terlalu mahal dan tidak efisien. Trump, yang sejak awal masa pemerintahannya mengkritik biaya tinggi dari energi terbarukan, telah berkomitmen untuk meningkatkan pemanfaatan bahan bakar fosil, seperti minyak dan gas, yang ada di dalam negeri.
Pada saat pelantikannya, Trump sempat menyampaikan visi ambisius untuk industri energi AS, yang meliputi eksplorasi dan pemanfaatan bahan bakar fosil dengan cara yang lebih agresif. Ia menyatakan bahwa Amerika memiliki cadangan energi yang sangat besar dan lebih banyak dibandingkan negara-negara lain. “Kita memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh negara lain, yaitu jumlah minyak dan gas terbesar di dunia,” klaim Trump dengan penuh keyakinan.
Perjanjian Paris, yang diadopsi pada Desember 2015 dengan tujuan utama untuk mengatasi pemanasan global akibat aktivitas manusia, sebelumnya diterima oleh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama pada September 2016. Perjanjian ini bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius, serta mempercepat upaya negara-negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
Namun, di bawah pemerintahan Trump pertama, Amerika Serikat secara resmi menarik diri dari Perjanjian Paris pada November 2020, langkah yang dianggap sebagai kemunduran besar bagi usaha global dalam memerangi perubahan iklim. Trump berpendapat bahwa perjanjian tersebut akan membebani perekonomian Amerika dan menghambat potensi pertumbuhan sektor energi fosil.
Pada Januari 2021, ketika Joe Biden menjabat sebagai Presiden AS ke-46, ia langsung menandatangani perintah eksekutif untuk mengembalikan Amerika Serikat ke dalam Perjanjian Paris, menandai pembalikan kebijakan iklim yang dilaksanakan oleh pemerintahan sebelumnya.
Dengan keluarnya perintah eksekutif terbaru dari Presiden Trump, kebijakan iklim AS kini kembali berubah. Langkah ini kembali memperburuk ketegangan mengenai peran negara-negara besar, khususnya penghasil emisi gas rumah kaca terbesar seperti AS, dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Meskipun kebijakan tersebut diprediksi akan memberikan dorongan bagi sektor energi fosil, dampaknya terhadap upaya global dalam mengurangi pemanasan global dan memperlambat laju perubahan iklim tetap menjadi sorotan besar di panggung internasional.
More Stories
Donald Trump Perintahkan Pasukan Federal ke Perbatasan Meksiko untuk Atasi Imigrasi Ilegal
Marco Rubio Dilantik Sebagai Menteri Luar Negeri AS, Awali Tugas di Tengah Krisis Global
Donald Trump Dilantik Kembali Sebagai Presiden AS ke-47, Janjikan Perubahan Besar untuk Masa Depannya